Buol, Kasekabar.com – Polemik penolakan masyarakat Desa Lonu, Kecamatan Bunobogu, Kabupaten Buol terhadap aktivitas PT Hardaya Inti Plantations (HIP) kembali mencuat.
Menurut lembaga Jaringan JAGA DECA, kasus ini menunjukkan indikasi kuat bahwa perusahaan tidak pernah melibatkan masyarakat dalam konsultasi bermakna sebagaimana diatur dalam prinsip bisnis dan HAM.
Seniwati, S.Si, perwakilan Jaringan JAGA DECA menegaskan, konsultasi bermakna adalah kewajiban dasar perusahaan sebelum menjalankan usaha di suatu wilayah.
KONTEN IKLAN

IKLAN - SCROLL UNTUK MELANJUTKAN
“Dalam konsultasi bermakna, masyarakat harus diberi kebebasan menentukan sikap secara mandiri tanpa tekanan, dengan informasi yang cukup terkait dampak sosial maupun lingkungan. Itu tidak terjadi di Desa Lonu,” jelasnya, Minggu (28/9).
Kewajiban Sosial dan Lingkungan Perusahaan
Sebagai pemegang hak pelepasan kawasan hutan berdasarkan SK Menteri LHK Nomor 517/2018, PT HIP memiliki kewajiban sosial dan lingkungan yang harus dipenuhi.
Menurut Seniwati, terdapat dua tanggung jawab utama yang melekat pada perusahaan, yakni:
1. Tanggung jawab sosial, menyerahkan 20% lahan untuk kebun masyarakat sebagai bagian dari reforma agraria.
2. Tanggung jawab lingkungan, menjaga areal konservasi bernilai tinggi (HCV) yang masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU).
Perusahaan wajib mengelola dan melindungi kawasan tersebut sesuai ketentuan PP No. 18/2021 serta standar berkelanjutan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), termasuk pencegahan aktivitas ilegal, pemantauan berkala, restorasi kerusakan, serta penghormatan terhadap nilai sosial-budaya lokal.

Dampak Langsung ke Warga
Fakta di lapangan memperlihatkan areal pelepasan hutan yang diberikan ke PT HIP ternyata terdapat aktivitas masyarakat, bahkan sebagian telah memiliki sertifikat hak milik (SHM). Selain itu, kawasan tersebut juga menjadi sumber mata air utama warga untuk kebutuhan sehari-hari dan irigasi sawah.
“Kalau hutan dibuka sepihak tanpa kajian AMDAL yang jelas, bukan hanya ruang hidup masyarakat yang hilang, tapi juga sumber air bisa tercemar dan sawah terancam gagal panen,” ujar Seniwati.
Desakan untuk Pemerintah dan BPN
Seniwati menilai kondisi di Desa Lonu semakin buruk karena PT HIP sudah melakukan aktivitas tanpa terlebih dahulu menyelesaikan kewajiban konsultasi bermakna maupun tanggung jawab sosial-lingkungan.
Ia menegaskan, pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus segera turun tangan agar konflik agraria tidak terus berulang. “Proses penerbitan HGU PT HIP harus benar-benar clear and clean. Jika tidak, maka sama saja membiarkan rakyat berhadapan dengan aparat hanya demi kepentingan perusahaan,” tegasnya.

Situasi ini mengingatkan pada penerbitan HGU tahun 1998 yang juga memicu polemik agraria di Buol. Warga khawatir jika tidak ada langkah tegas, konflik serupa akan meluas ke desa-desa lain di wilayah tersebut.